Imam Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang yang terkumpul padanya sifat-sifat mulia. Bersamanya fitrah yang suci dan jiwa mardhiyah (yang direlai) yang tidak dimiliki oleh orang lain yang unik dari sekian tokoh-tokoh yang ada. Nasab dan keturunannya adalah yang terbaik dan termulia. Ayahnya adalah Abu Thalib tokoh penting Quraisy. Kakeknya adalah Abdul Mutthalib pemimpin kota Mekkah. Sebelum itu pun ia merupakan tokoh penting Bani Hasyim. Keturunannya lebih bermakna dengan kedekatan nasabnya dengan Nabi Muhammad saw. Nabi adalah anak paman, mertuanya sekaligus orang yang paling dicintai Nabi dari sekalian keluarganya. Ali bin Abi Thalib juga adalah penulis wahyu yang turun pada Nabi. Ali bin Abi Thalib adalah yang paling menyerupai Nabi dalam kefasihan dan sastra Arab. Ia juga termasuk yang paling menghafal sabda-sabda Nabi dan yang paling memahami keluasan maknanya. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mengikrarkan keislamannya di hadapan Nabi tanpa pernah tersentuh akidah Arab Jahiliah sebelumnya. Sebelum akalnya dirusaki oleh kesyirikan. Ia selalu bersama Nabi di masa-masa sulit maupun senang begitu juga pada masa perang maupun damai. Kebersamaannya dengan Nabi membuatnya senantiasa berakhlak dengan akhlak Nabi sebagai panutannya. Ia memahami agama dari Nabi dan mempelajari apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi. Ali bin Abi Thalib akhirnya terkenal sebagai sahabat yang paling paham agama, paling layak untuk menghakimi dengan aturan-aturan syariat, yang paling menjaga agama, yang paling layak mendakwahi orang lain, paling teliti dalam memberikan pandangan dalam masalah agama dan yang paling mendekati kebenaran. Kelebihan-kelebihan ini mengharuskan Umar untuk berkata,'Bila ada Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib) tidak akan ada masalah yang tersisa pasti ia dapat menyelesaikannya. Ali bin Abi Thalib adalah yang paling berilmu, lebih berpengalaman, bijaksana dan pengkritik yang sangat paham. Perasaannya sangat halus, jiwanya suci dan bersih, emosinya terkontrol, pandangannya tajam, jalan yang dicarinya adalah yang terbaik, pemahamannya sangat cepat, ingatannya luar biasa dan mengenal benar apa yang penting. Ibadah dan ketakwaan Ali bin Abi Thalib terkenal dengan ketakwaannya. Ketakwaannya menjadi penyebab bagi perilaku-perilaku baik dengan diri, keluarga dan masyarakat. Ibadah dalam pandangan mayoritas terkadang diartikan sebagai kembalinya kelemahan pada diri. Terkadang juga diartikan sebagai pelarian dari persoalan-persoalan kehidupan. Di sisi lain, diartikan sebagai bentuk kegelisahan yang diwariskan kemudian diperkuat oleh kebingungan baru yang sumbernya adalah pengkudusan manusia dan masyarakat bagi semua warisan di banyak kondisi. Ketakwaan yang dimiliki oleh Imam Ali bin Abi Thalib merupakan sumber semua potensi kekuatan yang dimilikinya sekaligus penyambung seluruh lingkaran moral yang menguat dan berlanjut hingga hari kiamat. Ketakwaan juga memberikan makna jihad di jalur yang menghubungkan kehidupan dengan segala nilai-nilai kebaikan. Bagaimanapun juga, Ketakwaan yang ada pada diri Imam Ali bin Abi Thalib adalah semangat pembangkangan terhadap fasad dan kemungkaran yang senantiasa diperanginya dari segala sisi. Pembangkangan terhadap kemunafikan, semangat mengeksploitasi sesama manusia dan pembunuhan karena manfaat pribadi. Pembangkangan terhadap kenistaan, kemiskinan, kemelaratan dan kelemahan. Pembangkangan terhadap semua predikat-predikat yang melekat pada kondisi yang rusuh dan riuh di masa hidupnya. Siapa saja yang menyaksikan ibadah Imam Ali bin Abi Thalib akan jelas baginya bahwa terlihat ia sangat serius sehingga terkesan berlebih-lebihan dalam ibadah dan takwanya. Hal yang sama, ia sangat serius mengikuti metodenya dalam politik dan memerintah. Dalam masalah ibadah, penyair akan terpana terhenti pada kebesaran wujud yang luas, kejernihan jiwa dan hati yang penuh dengan kecintaan sehingga bila tersingkap baginya keindahan alam niscaya segalanya saling melengkapi dengan apa yang ada dalam wujudnya baik itu bayang-bayang kenikmatan yang menaungi atau keseimbangan. Tanda-tanda yang agung ini dapat dilihat dari penjelasan puncak ketakwaan seorang yang merdeka dan jiwa-jiwa yang besar dan gagah. 'Sebagian manusia menyembah Allah karena mengharapkan sesuatu. Ibadah seperti ini adalah penghambaan seorang pedagang. Sebagian manusia menyembah karena ketakutan. Ibadah ini adalah penghambaan seorang budak. Sebagian manusia menyembah Allah karena merupakan sebuah bentuk terima kasih dan syukur. Ibadah dengan bentuk yang seperti ini adalah penghambaan seorang merdeka.' Ibadah Imam Ali bin Abi Thalib AS. bukan elemen pengantar untuk meraih keuntungan atau alat untuk dapat lari dari Allah swt karena ketakutan sebagaimana ibadah yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Ibadah dengan makna semacam ini memiliki muatan negatif. Ibadah Ali bin Abi Thalib adalah ibadah yang berbeda. Ibadahnya memiliki muatan positif. Ibadah yang muncul dari manusia agung yang muncul dari kesadaran akan dirinya dan alam berdasarkan eksperimen-eksperimen yang telah nyata berhasil, rasio yang bijaksana dan hati yang sensitif. Makna takwa yang didefinisikan dan didemonstrasikan Ali bin Abi Thalib membuatnya mampu mengarahkan manusia untuk bertakwa kepada Allah di jalur kebaikan kemanusiaan universal. Atau katakanlah: Di jalan urusan yang lebih mulia dari keinginan seorang pedagang yang beribadah untuk meraih kenikmatan akhirat. Jalur yang dirintis oleh Imam Ali bin Abi Thalib mampu mengarahkan manusia dalam bertakwa agar perbuatan mereka dapat mencerminkan keadilan dan meredam kemazluman dari seorang zalim. Ali bin Abi Thalib berkata, seyogianya kalian bertakwa kepada Allah. Dan dengan berbuat dan menjaga keadilan terhadap teman akrab dan musuh'. Dalam bertakwa, menurut Ali, kebaikan sebuah takwa akan muncul di mana ia mampu melindungimu untuk tidak menerima kebenaran begitu saja tanpa bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Takwa yang baik akan menahanmu untuk berbuat zalim kepada orang yang engkau benci dan menahanmu untuk tidak berbuat dosa. Kehidupan, dengan makna takwa yang didefinisikan Ali, tidak diharapkan karena kenikmatannya sedikit dan kelezatannya yang bakal lenyap. Kezuhudan Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan bahwa selama hidupnya adalah orang yang zuhud. Yang lebih penting lagi adalah ia jujur dalam kezuhudannya. Hal yang sama ketika ia jujur dalam semua apa yang dilakukan atau yang terlintas dalam hatinya bahkan yang diucapkannya. Ia mempraktekkan hidup zuhud dari dunia, gemerlapan negara dan kekuatan seorang penguasa serta hal-hal apa saja yang menurut orang lain dapat mengangkat derajat mereka. Sesuatu yang dilihat oleh mereka sebagai inti keberadaan. Ali bin Abi Thalib hidup di sebuah rumah yang sederhana bersama anak-anaknya sementara kekhalifahan berlindung padanya bukan kerajaan. Ia makan dari gandum yang digiling sendiri oleh istrinya dengan tangannya sementara pembantu-pembantu serta gubernur-gubernurnya hidup dalam gemerlap duniawi di Syam, hidup dalam kekayaan di Mesir dan hidup dalam kenikmatan di Irak. Ali bin Abi Thalib memakan roti kering dan keras yang ketika hendak dimakan di patahkan dengan lututnya. Bila musim dingin tiba dan hawa dingin menggigilkan semua orang, Ali tidak mempergunakan beberapa selimut untuk menghangatkan badannya untuk mengusir rasa dingin yang menghantamnya. Ali bin Abi Thalib mencukupkan dirinya dengan pakaian hangat yang tidak terlalu tebal sebagai petanda akan kehalusan ruh yang dimilikinya. Harun bin 'Antarah meriwayatkan dari ayahnya, 'Aku menemui Ali bin Abi Thalib di daerah Khuznaq. Pada waktu itu musim dingin. Ali bin Abi Thalib memakai pakaian beludru sementara badannya terlihat menggigil. Aku berkata kepadanya, 'Wahai Amir Mukminin! Allah telah memberikan kepadamu dan keluargamu bagian di harta ini (baitul mal). Engkau dapat memanfaatkannya untuk dirimu'. Ali menjawab, 'Demi Allah! Aku menganggap apa yang kalian lihat selama ini kecil. Aku merasa cukup dengan pakaian beludru ini yang kubawa dari Madinah'. Salah seorang mendatangi Ali bin Abi Thalib sambil membawakan makanan manis yang berharga mahal yang disebut Al-Faludzaj (kue yang dibuat dari tepung, susu dan madu). Ali tidak memakannya. Sambil melihat makanan tersebut sambil berkata, 'Demi Allah! Engkau adalah makanan yang berbau wangi, warnamu sangat menarik dan tepat untuk dimakan. Sayangnya, aku tidak akan membiasakan diriku dengan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaanku'. Sungguh, kezuhudan Ali bin Abi Thalib adalah makna gabungan dari kekesatriaan walaupun, menurut sebagian orang bahwa kezuhudan dan kekesatriaan dua makna yang berbeda. Kehidupan Umar bin Abdul Aziz yang indah patut menjadi contoh. Ia mengatakan, 'Manusia yang paling zuhud adalah Ali bin Abi Thalib'. Sementara keluarganya Bani Umayyah begitu membenci Ali bin Abi Thalib. Mereka memperkenalkan keburukan Ali bin Abi Thalib di hadapan masyarakat bahkan mencaci-makinya di atas mimbar salat Jumat. Semua mengetahui bahwa Ali bin Abi Thalib tidak tinggal di istana negara yang telah dipersiapkan untuknya di Irak. Ali tidak ingin rumahnya lebih dari rumah-rumah para fakir miskin yang tinggal dalam kesederhanaan dan kefakirannya. Ucapan beliau terkait dengan sikapnya dalam hidup mencerminkan hal itu. 'Apakah aku akan merasa cukup dengan diriku ketika orang-orang mengatakan padaku Amir Mukminin sementara aku tidak pernah merasakan kesulitan-kesulitan yang dialami mereka?. Penolakan dan keluhuran budi Ali bin Abi Thalib mendemonstrasikan kekesatriaan dengan makna puncaknya yang mengagumkan. Kekesatriaan yang dipraktekkannya mencakup semua bentuk keluhuran budi. Penolakan dan kebanggaan adalah dua prinsip dan semangat kekesatriaan. Keduanya merupakan sifat dan sikap Imam Ali bin Abi Thalib AS. Oleh karenanya, ia akan sangat marah bila melihat seseorang diganggu sekalipun orang itu tadinya mengganggu orang lain. Ali sangat membenci seseorang yang berinisiatif untuk menzalimi orang lain sekalipun perilaku itu dapat dipercaya bahwa orang yang akan dizalimi akan membunuhnya. Semangat penolakan dan kebanggaan inilah yang melatarbelakangi ia berada di atas angin dalam menghadapi orang-orang Bani Umayyah yang mencaci-makinya di hari ketika mereka berusaha menjatuhkannya dengan caci maki. Ali bin Abi Thalib melarang para sahabatnya untuk melontarkan caci makian kepada Bani Umayyah dengan ucapannya, 'Aku benci melihat kalian suka mencaci maki. Aku dapat menolerir bila kalian menjelaskan perilaku dan menyebutkan kondisi mereka. Hal yang demikian, menurutku, lebih tepat dan bila salah lebih mudah untuk mengucapkan kata maaf, dari pada kalian mengatakan tempat di mana kalian mencaci mereka. Ya Allah, peliharalah darah kami dan darah mereka. Perbaiki hubungan kami dengan mereka. Tunjukkanlah mereka dari kesalahan yang ada sehingga orang yang tidak mengetahui dapat mengenal kebenaran. Sehingga tidak lagi ada yang melakukan perbuatan jelek dan permusuhan'. Menjaga harga diri Kekesatriaan dan penghormatan terhadap harga diri seseorang yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib lebih sulit ditemukan padanannya dalam sejarah. Kejadian-kejadian penghormatan terhadap harga diri seseorang yang dilakukan Ali dalam sejarah kehidupannya lebih banyak dari yang dibayangkan. Salah satunya pada kejadian ketika Ali bin Abi Thalib menahan pasukannya yang dalam kondisi marah untuk tidak membunuh musuh yang bertobat. Ia juga melarang mereka untuk menyingkap tabir dan mengambil harta. Selain itu, saat ia memenangkan pertempuran dengan musuh bebuyutannya yang mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri darinya. Ia mengampuni dan berbuat baik dengan mereka. Ali melarang sahabat-sahabatnya untuk menyiksa mereka walaupun mampu melakukan itu. Kebenaran dan keikhlasan Kebenaran dan keikhlasan adalah dua sifat yang dimiliki Imam Ali bin Abi Thalib AS. Kedua saling terkait satu dengan yang lainnya dalam hubungan yang tidak ada habis-habisnya. Salah satunya menjadi bukti bagi yang lainnya. Kebenaran dalam sifat Ali bin Abi Thalib telah mencapai puncaknya sehingga ia harus merelakan khilafah yang menjadi haknya hilang, dirampas orang. Seandainya Ali bin Abi Thalib mau rela sedetik untuk menggantikan sikap kebenaran yang diyakininya niscaya ia tidak memiliki musuh. Orang-orang yang semula adalah temannya tidak akan berbalik memusuhinya. Ali membuang jauh-jauh apa yang menjadi prinsip Muawiyah dalam perilakunya. Ia berkata, 'Aku tidak akan mencari muka karena agama yang kuanut. Aku tidak akan melakukan hal-hal yang rendah dalam urusan keagamaanku'. Ketika terpampang dengan lebar akan tipu muslihat Muawiyah di hadapan masyarakat, Ali mengucapkan kalimat yang hanya diungkapkan oleh orang yang memiliki moral yang agung. 'Demi Allah! Muawiyah tidak lebih cerdik dari aku. Yang dilakukan oleh Muawiyah adalah kecurangan dan perbuatan tercela. Seandainya kecurangan adalah perbuatan yang tidak tercela niscaya aku adalah orang yang paling curang di muka bumi.' Ali bin Abi Thalib selalu mengingatkan akan keharusan berkata benar dalam kondisi apapun. 'Salah satu dari tanda-tanda iman adalah selalu berkata benar sekalipun itu membahayakanmu. Tidak kompromi dengan kebohongan sekalipun itu memberimu manfaat.' Keberanian Keberanian Imam Ali bin Abi Thalib AS. bila diungkapkan adalah ide dan pemikiran sementara pada tataran praktis adalah iradah dan kehendak. Poros keberanian adalah melindungi hal yang alami seperti kebenaran dan keimanan akan kebaikan. Semua mengetahui bagaimana tidak ada seorang pahlawan di zamannya yang mampu menang melawannya di medan pertempuran. Keberaniannya menentang maut tidak membuatnya takut menghadapi siapa saja. Lebih dari itu, pikiran akan mati dalam peperangan tidak pernah melintas dalam benak Ali bin Abi Thalib sementara ia dalam posisi berduel dalam medan perang. Ia tidak akan berduel dengan musuh-musuhnya dan mengalahkan mereka sebelum berdialog dan menasihati serta menuntun mereka kepada kebenaran. Ali bin Abi Thalib dengan segenap kekuatannya yang luar biasa tidak pernah melakukan penganiayaan terhadap musuhnya dalam kondisi bagaimanapun. Para sejarawan sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah memulai dalam berperang hingga musuh telah terlebih dahulu menyerangnya. Ia senantiasa berusaha sebisa mungkin menyeimbangkan segala urusannya berbarengan dengan kemarahannya dengan cara damai agar tidak terjadi pertumpahan darah, tidak terjadi peperangan. Secara alamiah tidak melakukan perbuatan melampaui batas merupakan prinsip dan moral Ali bin Abi Thalib. Ia senantiasa menghubungkan dirinya secara erat dengan fondasi universal yang diyakininya yang dibangun atas pengenalan akan perjanjian dan melindungi tanggungan dan berbelas kasih terhadap manusia sekalipun orang lain mengkhianati perjanjian dan melakukan perbuatan tidak beradab dan tidak ada rasa perikemanusiaan. Ali bin Abi Thalib tidak pernah sedikit pun memenangkan rasa permusuhannya atas kebenaran. Hal itu sudah pasti akan dilakukan bila tidak ada lagi tuntunan agung dari sifat memenuhi janji dan kewibawaan serta kedermawanan yang memenuhi jiwanya dalam mengalahkan rasa takutnya. Sayangnya, pemilik kasih sayang ini tidak dilindungi oleh sahabat-sahabat yang betul-betul mencintainya. Mereka tidak ingin menjadi seperti Ali bin Abi Thalib dan dirinya. Akhirnya Ali bin Abi Thalib membiarkan mereka dalam kebaikan bumi namun tidak seluruh makhluk. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Demi Allah! Seandainya aku diberi tujuh iklim di bumi ini namun aku harus bermaksiat kepada Allah dengan merebut sebutir gandum murahan dari mulut seekor semut niscaya aku tidak akan mengabulkan itu. Dunia kalian di sisiku lebih rendah nilainya dari dedaunan yang sedang dikunyah oleh seekor belalang'. Ali bin Abi Thalib dalam hal ini, tidak sekedar berkata dan kemudian melakukannya. Namun, ucapannya mengalir dari perbuatan yang alami yang dipraktekkan dan dari perasaan yang dirasakannya. Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling mulia di antara manusia. Ia adalah makhluk Allah yang paling jauh untuk mengganggu makhluk yang lain. Ia paling dekat dengan manusia untuk membantu mereka agar hati nuraninya tidak tersiksa. Bukankah seluruh kehidupannya adalah rentetan peperangan yang berkepanjangan untuk menolong orang-orang yang dizalimi dan lemah? Ia dengan senang hati akan menolong kaum tanpa permintaan pertolongan dari mereka yang selalu menjadi alat produksi dari para penguasa yang mewarisi sistem kesukuan. Apakah pedang tajamnya yang di arahkan ke leher orang-orang Quraisy yang ingin menguasai kekhalifahan, kepemimpinan, posisi dan pengumpulan harta masih belum jelas menjelaskan hakikat ini! Bukankah ia meletakkan khilafah dan kehidupan di atas bumi hanya karena ia enggan berjalan berbarengan dengan pencinta dunia yang selalu memarginalkan kaum lemah dan papa serta yang dizalimi? Keadilan Tidak aneh bila dikatakan Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling adil. Aneh bila Ali bin Abi Thalib adalah kebalikannya. Riwayat-riwayat tentang keadilan Ali bin Abi Thalib adalah harta peninggalan yang tak terkira yang senantiasa mengawasi posisi dan derajat manusia dan semangat kemanusiaan. Ali bin Abi Thalib tidak ingin ditinggikan dalam hak-haknya di peradilan. Bahkan ia selalu berusaha agar diadili bila harus karena pengadilan adalah bagian dari semangat keadilan. Semangat keadilan dalam diri Ali bin Abi Thalib mengalir hingga merasuki hal-hal yang paling sederhana. Wasiat-wasiat dan surat-suratnya kepada para gubernurnya hampir seluruhnya berisikan pesan untuk berlaku adil. Keadilan telah memenangi pertempuran di dalam hati Ali bin Abi Thalib dan hati para pengikutnya sekalipun mereka dizalimi dan ia disakiti. Rendah hati Salah satu prinsip moral Imam Ali bin Abi Thalib AS. adalah ia senantiasa menyandarkan perilakunya pada kesederhanaan dan menolak pemaksaan. Ia berkata, 'Teman yang paling buruk adalah yang memaksa orang lain untuk melakukan pekerjaan yang sulit'. Di tempat lain ia juga berkata, 'Ketika seorang mukmin membuat saudara mukminnya marah, maka hampir dapat dipastikan bahwa ia telah berpisah dengannya'. Oleh karenanya, Ali bin Abi Thalib tidak pernah berbuat-buat dalam pandangan yang disampaikannya, nasihat yang dianjurkannya, harta yang diinfakkannya atau harta yang dilarang untuk diberikan. Semua yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sifat alami ini senantiasa dilakukannya sehingga sahabat-sahabat yang mengharap keuntungan merasa putus asa sekalipun dengan tipu daya. Sebagian sahabat menyebutnya orang yang berhati keras, orang yang terasing dan arogan. Kebenaran yang dirasakan dan mengungkapkan kebenaran itu sendiri bukanlah sikap arogan dan bukan pula orang yang terasing dari lingkungannya. Bahkan sebaliknya, sikap menyampaikan kebenaran adalah usaha untuk memerangi sikap arogansi dan 'ujub (merasa besar hati). Dan, Ali bin Abi Thalib sejak awal senantiasa melarang anak-anak, pembantu-pembantu dan gubernur-gubernurnya untuk merasa takabur dan 'ujub dengan ucapannya, 'Hati-hatilah engkau dengan rasa 'ujub yang menghinggapi dirimu. Ketahuilah rasa 'ujub (menganggap besar diri sendiri) adalah bentuk dari rasa permusuhan terhadap kebenaran dan salah satu perusak hati'. Ia membenci kecintaan kepada dirinya yang dipaksakan sebagaimana ia membenci kebencian yang di alamatkan kepada dirinya dengan cara paksa. Ali bin Abi Thalib berkata, 'Dua kelompok yang celaka terkait dengan diriku. Pertama, pencinta yang berlebih-lebihan dan kedua, pembenci yang berlebih-lebihan'. Ali bin Abi Thalib maju ke medan pertempuran menghadapi musuh-musuhnya untuk berduel tanpa memakai topi pelindung sementara para musuhnya memakai pelindung dari besi. Tidak aneh bila ia keluar menghadapi mereka dengan keterbukaan jiwa sementara mereka menutupi dirinya dengan tipu muslihat dan riya. Kesucian Ali bin Abi Thalib dikenal dengan hatinya yang sehat. Ia tidak pernah merasa hasut kepada orang lain bahkan kepada musuh bebuyutannya sendiri. Ia tidak punya perasaan jelek bahkan kepada orang yang membencinya karena hasut. Kedermawanan Salah satu moral Ali bin Abi Thalib adalah kedermawanan. Kemuliaannya tidak mengenal batas. Kemuliaan Ali bin Abi Thalib memiliki muatan positif dan sehat sesuai dengan prinsip-prinsip dan tujuannya. Ali bin Abi Thalib tidak akan memuliakan gubernur-gubernurnya yang dihormati lewat harta dan usaha-usaha masyarakat. Sikap penghormatan dan kemuliaan seperti ini tidak pernah dilakukannya sekalipun dalam hidupnya. Kemuliaan Ali bin Abi Thalib dapat diungkapkan dengan sekumpulan kekesatriaan. Ia memeriksa anak wanitanya dengan seksama bahkan dapat dikatakan sangat tegas karena mempergunakan kalung dari harta Baitul Mal menyongsong hari raya. Ali bin Abi Thalib dengan tangannya sendiri menyirami pohon kurma yang dimiliki sekelompok orang-orang Yahudi Madinah sehingga tangannya melepuh. Upah yang diterima diberikannya kepada mereka yang membutuhkan dan fakir miskin. Sebagian dari upah yang diterimanya dipakai untuk membeli budak-budak untuk kemudian dimerdekakannya. Muawiyah secara pribadi menyaksikan akan kedermawanan Ali bin Abi Thalib sambil berkata, 'Seandainya Ali bin Abi Thalib memiliki sebuah rumah dari emas dan sebuah lagi dari jerami niscaya ia akan menghabiskan rumah dari emasnya terlebih dahulu sebelum rumahnya yang dibuat dari jerami hancur'. Ilmu dan pengetahuan Ibnu Abi Al-Hadid berkata, 'Apa yang harus aku katakan pada seorang yang berkumpul padanya semua keutamaan, semua perbedaan kembali menyatu padanya dan bagaikan magnet semua pihak tertarik dan mengelilinginya. Ia adalah pemimpin segala keutamaan bahkan sumbernya. Siapa saja yang memiliki sifat-sifat besar pasti mengambil dan mencontohinya dari Ali bin Abi Thalib. Paling mulianya ilmu-ilmu yang membicarakan tentang Allah diambil dari ucapan-ucapannya, dinukil darinya, akhir dan awal kembali padanya. Ilmu fikih misalnya, asal dan dasarnya adalah Ali bin Abi Thalib. Setiap fakih dalam Islam adalah keluarga besar Ali bin Abi Thalib dan memanfaatkan ilmu dan fikih Ali bin Abi Thalib. Ilmu tafsir Al-Quran diambil darinya dan dari ucapannya kemudian diperluas. Ilmu tarekat dan hakikat serta keadaan-keadaan tasawuf diambil dari khazanah ucapan-ucapan Ali bin Abi Thalib. Silsilah pimpinan para sufi akhirnya terhenti pada Ali bin Abi Thalib. Ilmu Nahwu dan bahasa Arab yang dikuasai kebanyakan manusia merupakan hasil kreativitas Ali bin Abi Thalib yang didiktekan kepada Abu Al-Aswad Ad-Duali; prinsip-prinsip dan kesimpulannya.' Ibnu Abi Al-Hadid menambahkan, 'Akan halnya kefasihan, Ali bin Abi Thalib adalah tokoh dan pakar kefasihan dan pemimpinnya. Terkait dengan ucapan-ucapannya, Ibnu Abi Al-Hadid memberikan penilaian, 'di bawah kalam ilahi dan di atas kalam manusia'. Orang-orang mempelajari seni pidato dan menulis darinya. Demi Allah! Tidak ada yang lebih fasih di lingkungan orang-orang Quraisy selain Ali bin Abi Thalib. Bukti kefasihannya adalah kitab yang saya komentari. Buku ini, Nahjul Balaghah, tidak tertandingi dalam kefasihan dan tidak ada yang menyamainya dalam retorika. Dilanjutkan lagi, 'Masalah zuhud dari dunia yang menjadi sifat Ali bin Abi Thalib dapat dikatakan bahwa ia adalah pimpinan mereka yang mengaku zuhud. Kaki, tangan dan otot-otot sampingnya senantiasa sakit karena setiap perjalanan kembali padanya, pakaiannya adalah kain tebal yang kaku, ia tidak pernah kenyang seumur hidupnya dan orang yang berpakaian dan makanannya kasar.' Terkait dengan ibadah maka Ali bin Abi Thalib adalah manusia yang paling banyak melakukan ibadah baik salat maupun puasa. Para sahabat mempelajari bagaimana melakukan salat malam, membaca wirid-wirid dan bagaimana melakukan salat-salat sunat. Apa yang dapat kau pikirkan dari seorang lelaki yang secara serius dan berkesinambungan membaca wirid dengan menghamparkan kain untuk salat dan berdoa di perang Shiffin pada malam Harir. Ali bin Abi Thalib pada malam pertempuran itu melakukan salat dan membaca wiridnya sementara anak-anak panah berjatuhan di depannya. Anak-anak panah menembus dan merobek apa saja yang berada di kiri dan kanannya. Ali bin Abi Thalib tidak terlihat bergeming dari tempatnya. Tidak terlihat ada rasa ketakutan sedikit pun dari wajahnya. Ia tidak meninggalkan salatnya hingga selesai melakukannya. Seandainya engkau merenungi doa-doa dan munajat yang dilakukannya, seandainya engkau terhenti sebentar bagaimana ia mengagungkan dan memuliakan Allah swt, pengagungan yang mengandung kekhusyukan, kerendahan dan penyerahan total di hadapan kebesaran dan keagungan-Nya niscaya engkau akan mengetahui seberapa murni keikhlasannya. Engkau akan memahami lewat hati dari siapa ungkapan-ungkapan ini mengalir, lewat lisan siapa terlontar. Ali bin Al-Husein AS. seorang yang mencapai puncak dalam beribadah sehingga di beri gelar Zainul Abidin (hiasan orang-orang yang beribadah) berkata, 'Ibadahku bila dibandingkan dengan ibadah yang dilakukan kakekku Ali bin Abi Thalib sama perbandingannya dengan ibadah Ali bin Abi Thalib bila dibandingkan dengan ibadah Rasulullah saw'. Bacaan Al-Quran dan kesibukannya membaca dan memahaminya merupakan fokus bab ini. Semua sepakat bahwa Ali bin Abi Thalib menghafal Al-Quran sejak zaman Rasulullah saw sementara belum ada yang menghafalkannya. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang mengumpulkan Al-Quran. Terkait dengan masalah qiraat (bentuk-bentuk pembacaan) Al-Quran, dapat ditemukan bahwa para pimpinan qiraat ujung-ujungnya berakhir pada Ali bin Abi Thalib AS. Apa yang dapat kukatakan tentang seorang yang dicintai oleh ahli dzimmah yang mencintainya sekalipun mereka tidak menerima konsep kenabian. Seorang yang diagungkan para filsuf sementara mereka memusuhi umat beragama. Seorang yang dilukis gambarnya oleh orang-orang Eropa dan Roma di gereja-gereja dalam keadaan memegang pedangnya. Seorang yang dicintai oleh semua orang dan ingin agar orang yang sepertinya diperbanyak. Seorang yang disenangi oleh setiap orang untuk dapat dihubungkan dengannya? Aku merasa sulit menyifati seorang yang terlebih dahulu mendapat hidayah dari orang lain. Orang paling awal yang mengesakan Allah setelah Muhammad Rasulullah saw. |
Kamis, 10 November 2011
Sifat-sifat Imam Ali bin Abi Thalib
Rabu, 09 November 2011
Sekilas Tentang Abu Bakar As Siddiq

Abu Bakar As Siddiq tumbuh dan besar di Mekah dan tidak pernah keluar dari Mekah kecuali untuk tujuan dagang dan bisnis. Beliau memiliki harta kekayaan yang sangat banyak dan kepribadian yang sangat menarik, memiliki kebaikan yang sangat banyak, dan sering melakukan perbuatan-perbuatan yang terpuji. Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Dughunnah, sesungguhnya engkau selalu menyambung tali kasih dan keluarga, bicaramu selalu benar, dan kau menanggung banyak kesulitan, kau bantu orang-orang yang menderita dan kau hormati tamu.
An-Nawawi berkata: Abu Bakar As Siddiq termasuk tokoh Quraisy dimasa Jahiliyah, orang yang selalu dimintai nasehat dan pertimbangannya, sangat dicintai dikalangan mereka, sangat mengetahui kode etik dikalangan mereka. Tatkala, Islam datang Abu Bakar As Siddiq mengedepankan Islam atas yang lain, dan beliau masuk Islam dengan sempurna.
Zubair bin Bakkar bin Ibnu Asakir meriwayatkan dari Ma’ruf bin Kharbudz dia berkata: Sesungguhnya Abu Bakar As Siddiq adalah salah satu dari 10 orang Quraisy yang kejayaannya dimasa Jahiliyah bersambung hingga zaman Islam. Abu Bakar As Siddiq mendapat tugas untuk melaksanakan diyat (tebusan atas darah kematian) dan penarikan hutang. Ini terjadi karena orang-orang Quraisy tidak memiliki raja dimana mereka bisa mengembalikan semua perkara itu kepada raja. Pada setiap kabilah dikalangan Quraisy saat itu, ada satu kekuasaan umum yang memiliki kepala suku dan kabilah sendiri.
Istri-istri dan anak Abu Bakar.
Abu Bakar pernah menikahi Qutailah binti Abdul Uzza bin Abd bin As’ad pada masa jahiliyyah dan dari pernikahan tersebut lahirlah Abdullah dan Asma’.
Beliau juga menikah dengan Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Zuhal bin Dahman dari Kinanah, dari pernikahan tersebut lahirlah Abdurrahman dan ‘Aisyah.
Beliau juga menikah dengan Asma’ binti Umais bin ma’add bin Taim al-Khatts’amiyyah, dan sebelumnya Asma’ diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahannya ini lahirlah bin Abu Bakar, dan kelahiran tersebut terjadi pada waktu haji Wada’ di Dzul Hulaifah.
Beliau juga menikah dengan Habibah binti Kharijah bin Zaid bin Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj.
Abu Bakar pernah singgah di rumah Kharijah ketika beliau datang ke Madinah dan kemudian mempersunting putrinya, dan beliau masih terus berdiam dengannya di suatu tempat yang disebut dengan as-Sunuh hingga Rasullullah saw wafat dan beliau kemudian diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah saw. Dari pernikahan tersebut lahirlah Ummu Khultsum.
Orang yang paling bersih di masa Jahilliyah
Ibnu Asakir meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih dari Aisyah, dia berkata: demi Allah, Abu Bakar As Siddiq tidak pernah melantunkan satu syairpun di masa Jahiliyah dan tidak pula dimasa Islam. Abu Bakar As Siddiq dan Utsman bin Affan tidak pernah minum minuman keras di zaman Jahiliyah.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abdullah bin Zubair, dia berkata, Abu Bakar As Siddiq sama sekali tidak pernah mengucapkan syair.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Abu Al-Aliyyah Ar-rayahi, dia berkata: Dikatakan kepada Abu Bakar As Siddiq ditengah sekumpulan sahabat Rasulullah: Apakah kamu pernah meminum minuman keras di zaman Jahiliyah? Beliau berkata, ”Saya berlindung kepada Allah dari perbuatan itu!”
Sifat Abu Bakar As Siddiq
Ibnu Saad meriwayatkan dari Aisyah bahwa seorang laki-laki berkata kepadanya: Coba sebutkan kepada saya gambaran tentang Abu Bakar As Siddiq! Kata Aisyah: dia adalah laki-laki kulit putih, kurus, tidak terlalu lebar bentuk tubuhnya,sedikit bungkuk, tidak bisa untuk menahan pakaiannya turun dari pinggangnya, tulang-tulang wajahnya menonjol, dan pangkal jemarinya datar.
Ibnu Asakir meriwayatkan dari Aisyah, bahwa Abu Bakar As Siddiq mewarnai rambutnya dengan 'daun pacar' dan katam (nama jenis tumbuhan). Dia juga meriwayatkan dari Anas, dia berkata, Rasulullah datang ke Madinah, dan tidak ada salah seorang dari para sahabatnya yang beruban kecuali Abu Bakar As Siddiq, maka dia menyemirnya dengan daun pacar dan katam.
Abu Bakar As Siddiq dilahirkan di Mekah dari keturunan Bani Tamim ( Attamimi ), suku bangsa Quraisy. Berdasarkan beberapa sejarawan Islam, ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar serta dipercayai sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi.
Era bersama Nabi saw
Sebagaimana yang juga dialami oleh para pemeluk Islam pada masa awal. Ia juga mengalami penyiksaan yang dilakukan oleh penduduk Mekkah yang mayoritas masih memeluk agama nenek moyang mereka. Namun, penyiksaan terparah dialami oleh mereka yang berasal dari golongan budak. Sementara para pemeluk non budak biasanya masih dilindungi oleh para keluarga dan sahabat mereka, para budak disiksa sekehendak tuannya. Hal ini mendorong Abu Bakar As Siddiq membebaskan para budak tersebut dengan membelinya dari tuannya kemudian memberinya kemerdekaan. Sehingga diriwayatkan bahwa Abu Bakar As Siddiq memiliki 9 toko yang semuanya habis dibuat untuk tegaknya agama islam. Beberapa budak yang ia bebaskan antara lain :
Ketika peristiwa Hijrah, saat Nabi Muhammad SAW pindah ke Madinah (622 M), Abu Bakar As Siddiq adalah satu-satunya orang yang menemaninya. Abu Bakar As Siddiq juga terikat dengan Nabi Muhammad secara kekeluargaan. Anak perempuannya, Aisyah menikah dengan Nabi Muhammad beberapa saat setelah Hijrah.
Menjadi Khalifah
Selama masa sakit Rasulullah SAW saat menjelang ajalnya, dikatakan bahwa Abu Bakar As Siddiq ditunjuk untuk menjadi imam shalat menggantikannya, banyak yang menganggap ini sebagai indikasi bahwa Abu Bakar As Siddiq akan menggantikan posisinya. Segera setelah kematiannya (632), dilakukan musyawarah di kalangan para pemuka kaum Anshar dan Muhajirin di Madinah, yang akhirnya menghasilkan penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai pemimpin baru umat Islam atau khalifah Islam.
Apa yang terjadi saat musyawarah tersebut menjadi sumber perdebatan. Penunjukan Abu Bakar As Siddiq sebagai khalifah adalah subyek yang sangat kontroversial dan menjadi sumber perpecahan pertama dalam Islam, dimana umat Islam terpecah menjadi kaum Sunni dan Syi'ah. Di satu sisi kaum Syi'ah percaya bahwa seharusnya Ali bin Abi Thalib (menantu nabi Muhammad), yang menjadi pemimpin dan dipercayai ini adalah keputusan Rasulullah SAW sendiri sementara kaum sunni berpendapat bahwa Rasulullah SAW menolak untuk menunjuk penggantinya. Kaum sunni berargumen bahwa Rasulullah mengedepankan musyawarah untuk penunjukan pemimpin. Sementara muslim syi'ah berpendapat kalau Rasulullah saw dalam hal-hal terkecil seperti sebelum dan sesudah makan, minum, tidur, dll, tidak pernah meninggalkan umatnya tanpa hidayah dan bimbingan apalagi masalah kepemimpinan umat terahir, dan juga banyak hadits di Sunni maupun Syi'ah tentang siapa khalifah sepeninggal Rasulullah saw, serta jumlah pemimpin islam yang dua belas. Terlepas dari kontroversi dan kebenaran pendapat masing-masing kaum tersebut, Ali bin Abu Thalib sendiri secara formal menyatakan kesetiaannya (berbai'at) kepada Abu Bakar As Siddiq dan dua khalifah setelahnya (Umar bin Khattab dan Usman bin Affan). Kaum sunni menggambarkan pernyataan ini sebagai pernyataan yang antusias dan Ali bin Abu Thalib menjadi pendukung setia Abu Bakar As Siddiq dan Umar bin Khattab. Sementara kaum syi'ah menggambarkan bahwa Ali bin Abu Thalib melakukan baiat tersebut secara "pro forma," mengingat beliau berbaiat setelah sepeninggal Fatimah istri beliau yang berbulan bulan lamanya dan setelah itu ia menunjukkan protes dengan menutup diri dari kehidupan publik.
Perang Ridda
Segera setelah menjabat Abu Bakar As Siddiq, beberapa masalah yang mengancam persatuan dan stabilitas komunitas dan negara Islam saat itu muncul. Beberapa suku Arab yang berasal dari Hijaz dan Nejed membangkang kepada khalifah baru dan sistem yang ada. Beberapa diantaranya menolak membayar zakat walaupun tidak menolak agama Islam secara utuh. Beberapa yang lain kembali memeluk agama dan tradisi lamanya yakni penyembahan berhala. Suku-suku tersebut mengklaim bahwa hanya memiliki komitmen dengan Nabi Muhammad SAW dan dengan kematiannya komitmennya tidak berlaku lagi. Berdasarkan hal ini Abu Bakar menyatakan perang terhadap mereka yang dikenal dengan nama perang Ridda. Dalam perang Ridda peperangan terbesar adalah memerangi "Ibnu Habib al-Hanafi" yang lebih dikenal dengan nama Musailamah Al-Kazab (Musailamah si pembohong), yang mengklaim dirinya sebagai nabi baru menggantikan Nabi Muhammad SAW. Musailamah kemudian dikalahkan pada pertempuran Akraba oleh Khalid bin Walid.
Al Quran
Abu Bakar As Siddiq juga berperan dalam pelestarian teks-teks tertulis Al Quran. Dikatakan bahwa setelah kemenangan yang sangat sulit saat melawan Musailamah dalam perang Ridda, banyak penghafal Al Qur'an yang ikut tewas dalam pertempuran. Abu Bakar As Siddiq lantas meminta Umar bin Khattab untuk mengumpulkan koleksi dari Al Qur'an. Setelah lengkap koleksi ini, yang dikumpulkan dari para penghafal Al-Quran dan tulisan-tulisan yang terdapat pada media tulis seperti tulang, kulit dan lain sebagainya, oleh sebuah tim yang diketuai oleh sahabat Zaid bin Tsabit, kemudian disimpan oleh Hafsah, anak dari Umar bin Khattab dan juga istri dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa pemerintahan Ustman bin Affan koleksi ini menjadi dasar penulisan teks al Qur'an hingga yang dikenal hingga saat ini.
Abu Bakar As Siddiq meninggal pada tanggal 23 Agustus 634/ 8 Jumadil Awwal 13 H di Madinah pada usia 63 tahun. Beliau berwasiat agar jenazahnya dimandikan oleh Asma` binti Umais, istri beliau. Kemudian beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah. Umar mensholati jenazahnya diantara makam Nabi dan mimbar (ar-Raudhah) . Sedangkan yang turun langsung ke dalam liang lahat adalah putranya yang bernama Abdurrahman (bin Abi Bakar), Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah bin Ubaidillah.
Sumber : wikipedia dan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)